RANDAI (teater khas suku tradisional minang)

A.    Asal Kata dan Pengertian Randai
Beragam pendapat yang dikembangkan di lingkungan masyarakat tentang asal kata dan
pengertian randai. Munculnya keragaman pendapat tersebut karenatidak seorangpun agaknya yangpasti tau tentang asal dan pengertiankata itu, sehingga orang-orang mamberikan pengertian yangberbeda sesuai dengan persepsi dan
interprestasinya terhadap wujudkesenian tersebut. Beberapa pendapat yang berkembang dewasa ini tentang asal dan pengertian kata randai, antara lain dikemukakan oleh Chairul
Harun yang mengatakan bahwa randai berasal dari kata andai atau handai. Keduanya mempunyai arti berbicara dengan intim menggunakan ibarat, kias, pantun, serta petatah dan petitih. Penutur dialog dalam pertunjukan randai oleh pemain-pemainnya mengambil
pengandaian atau perumpamaan kepada cerminan kehidupan dalam masyarakat Pendapat lain menyatakan bahwa randai berasal dari kata rantai, melihat formasi pemain yang terbentuk dalam pertunjukannya.Waktu penampilan randai pemain-pemainnya selalu dalam posisi melingkar bagaikan merantai, satu sama lain saling berhubungan atau terkait dalam melakukan gerakan-gerakan.
Sumber lain mengatakan randai berasal dari bahasa Arab
yaitu rayan-li-da-I yang sangat dekat dengan kata da-i ahli dakwah dari
gerakan tarekat Naqsyabandiyah (Umar Kayam, 1984: 57). Sehubungan dengan pendapat irtu
Yusaf Rahman mengatakan bahwa, kata hep….ta…yang dipergunakan sebagai aba-aba dalam permainanm galombang randai berasal dari teknik pengaturan pernafasan untuk
membangkitkan tenaga dalam pada permainan silat di lingkungan penganut aliran Naqsyabandiyah.
Waktu melakukan sentakan atau tekanan pada rongga perut untuk menahan nafas, spontanitas keluar kata hep… apabila nafas ditahan kekuatan terhimpun dalam tubuh, waktu menghembuskan nafas sambil mengeluarkan kekuatan yang terhimpun dalam tubuh terlontar kata ta…. Selain itu dalam aliran silat di lingkungan tarekat Naqsyabandiyah gerakangerakannya diberi nama sesuai
dengan konfigurasi kaligrafis Arab tegak Alif, duduk Dhal, langkah Ba, dan lain sebagainya, Gerakangerakan galombang randai pada dasarnya bersumber pada gerakan – gerakan silat yang erat hubungannya dengan konfigurasi kaligrafis dari gerakan-gerakan ritual kaum Naqsyabandiyah tersebut (Umar Kayam, 1984 57). Apabila diperhatikan penggarapan randai yang berbentuk
teater, padanya terdapat unsur-unsur pokok yaitu; cerita, dialog, dan
acting, dendang yang disebut gurindam,dan galombang atau gerakan-gerakan tari bersumber
pada gerakan-gerakan pencak silat tradisional Minangkabau yang dilakukan dalam formasi melingkar
oleh pemain-pemainnya, maka ada benarnya jika randai dikatakan dari kata handai atau randai, rantai , dan rayan-li-da-i, karena pada kesenian tersebut terdapat unsur penceritaan
yang bersifat kiasan atau pengandaian yang disampaikan oleh para pemain dalam bentuk dialog
dan acting. Cerita yang disajikan dalam randai pada awalnya mengutamakan cerita yang berisi
tentang pelajaran-pelajaraan adat istiadat Minangkabau yang




bermanfaat untuk publik, penyampaian ajaran-ajaran tersebut dalam bentuk dialog dan acting
pada penampilan randai dekat dengan pengertian dakwah dalam
Islam. Gerakan-gerakan galombang yang dilakukan oleh para pemain randai dalam formasi melingkar dapat diinterprestasikan berbentuk
lingkaran rantai. sumber lain mengatakan bahwa secara marfologis susah dipertanggungjawabkan perubahan kata andai dan handai yang mendapat awalan ber dalam bahasa Indonesia menjadi berandai, sebab dalam bahasa Minangkabau hanya dikenal awalan ba. Apabila kata itu
dihubungkan akan menjadi baandai dan bahandai bukan barandai.
Begitu pula apabila randai dikatakan berasal dari kata rantai akan
menyulitkan memberi pertanggungjawaban perubahan
fonim /t/ menjadi/d/. lebih-lebih lagi jika randai dikatakan berasal dari bahasa Arab rayan-li-da-i yang dirasakan sangat jauh berbeda dari kata randai. Selain itu di Minangkabau sebelum ada randai
yang berbentuk teater telah ada bentuk kesenian yang juga dinamakan randai yaitu randai Lu
Ambek di Pariaman,dan randai Ilau di Saning Bakar. Kedua kesenian
tersebut tidak menampilkan cerita dalam bentuk dialog dan akting, tetap hanya menyajikan gerakangerakan dalam formasi melingkar yang diiringi dengan nyanyian atau dendang dan tepuk tangan. Oleh sebab itu sifat pengandaian atau perumpamaan melalui dialog dan
acting serta sifat dakwah dalam artian berbentuk ceramah jelas tidak
ada dalam kesenian tersebut. W.J.S. Poerwadarminta antara lain mengatakan kata randai
mempunyai beberapa pengertian. Pertama, randai atau merandai artinya mengarung di air, di rumput, dan sebagainya. Kedua, randai bahasa Minangkabau sejenis tarian
yang dilakukan oleh beberapa orang berderet melengkung, bernyanyi dan bertepuk tangan, sedangkan kata barandai dan randai kiasan terhadap bentuk berangkai berturut-turut
1976: 797). Pengertian kata randai oleh W.J.S Poerwadarminta tidak ada hubungannya dengan kata andai, handai dan riyan-li-da-i yang

terdapat dalam randai yang berbentuk teater, tetapi lebih menjurus kepada randai yang
berbentuk tarian. Sehubungan dengan pengertian tersebut Mursal Esten mengutip Darwis
menegaskan, randai sebelumnya adalah nama suatu bentuk seni tari
Minangkabau yang gerakangerakannya seperti pencak silat,dimainkan oleh beberapa orang
dalam formasi melingkar (1983: 112). Tampaknya karena randai yang berbentuk tari lebih dahulu
tumbuh dari randai yang berbentuk teater, serta ikut memberi pengaruh terhadap pertumbuhan randai tersebut (randai berbentuk teater), maka istilah atau penyebutan randai
terhadap tari randai, kemudian dipakai juga untuk sebutan atau penamaan terhadap randai yang berbentuk teater.

B. Proses Pembentukan Randai
Teater komedi bangsawan Melayu yang masuk dan berkembang di Sumatera Barat pada
sekitar tahun 1924 mempunyai peranan penting dalam kehadiran dan pembentukan randai di
Sumatera Barat. Dikatakan demikian karena teater komedi bangsawan Melayu tersebut telah
memberi pengaruh dan mampu mendatang ilham terhadap masyarakat Minangkabau Sumatera
Barat untuk mengkomposisikan vokabuler kesenian yang sudah ada menjadi suatu bentuk teater rakyat Minangkabau yang disebut randai. Pembauran teater bangsawan Melayu dengan kesenian tradisional Minangkabau bisa terjadi karena ada kecocokan dan kedekatan antara masing-masing kesenian tersebut, sehingga kesenian itu dengan cepat
dan mudah terpadu atau berakulturasi (Mursal Esten, 1979:3). Young Yun Kim antara lain mengatakan, kemiripan antara budaya asli imigran dengan budaya pribumi merupakan faktor terpenting dalam proses terjadinya akulturasi (1990: 155). Dengan demikian selain teater bangsawan Melayu kesenian rakyat Minangkabau yang ada sebelumnya juga tidak kalah pentingnya dalam proses pembentukan teater randai.

Seni sastra dan silat yang ada sebelumnya mempunyai peranan penting terhadap pembentukan
randai, malahan dapat dikatakan seni sastra dan silat Minangkabau adalah bibit yang menumbuhkan
kesenian randai. Oleh sebab itu untuk mengkaji proses pembentukan
randai dirasa perlu melakukan pengkajian terhadap keberadaan dan perkembangan seni dan silat
tersebut. Seni sastra Minangkabau banyak mengandung ungkapan plastis yang bersifat kiasan,
sindiran, perumpamaan atau ibarat, pepatah-petitih, dan sebagainya. Semuanya itu dikategorikan kepada pribahasa. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Minangkabau lazim mempergunakan ungkapan plastis itu. Untuk mengatakan pasar yang sepi misalnya dikatakan dapek kudo
balari (dapat kuda berlari), kesulitan untuk mengambil suatu keputusan dikatakan; bak maelo rambuik dalam tapuang (bagaikan menarik rambut dalam tepung), dan sebagainya (A. A. Navis. 1984: 231). Walaupun ungkapan plastis sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, namun
bahasa percakapan sehari-hari berbeda dari bahasa kesusasteraan. Bahasa sehari-hari cendrung
mempergunakan kalimat-kalimat yang praktis dan pendek, sedangkan bahasa kesusasteraan memakai kalimat-kalimat panjang, banyak mengandung anak kalimat, umumnya terdiri dari empat kata seperti kalimat pantun. Pengucapannya bagaikan orang berdendang atau bernyanyi A. A.
Navis , 1984: 231) Dalam lingkungan masyarakat Minangkabau pantun dipandang sebagai media
komunikasi yang ampuh dan praktis, serta berperan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Dalam
masalah pendidikan misalnya seseorang mamak memberikan pelajaran dan nasehat kepada kemenakannya memakai media pantun, begitu juga orang tua terhadap anak-anak muda dan
sebagainya. Dalam upacara-upacara adat pantun juga mempunyai peranan serta sering ditampilkan.
36 Malahan sebagian besar nilai-nilai adat istiadat Minangkabau terkandung atau diungkapkan dalam bentuk pantun. Keadaan yang demikian memberi peluang terhadap pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis pantun di lingkungan masyarakat Minangkabau seperti
pantun pendidikan, pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun suka, pantun duka, dan lain
sebagainya. Jenis-jenis pantun di atas mempunyai andil yang kuat dalam kontruksi cerita rakyat Minangkabau yang disebut kaba, kadangkala suatu kaba hanya merupakan rangkaian pantun
bercerita. Sebelum ada randai yang bercerita sering dilakukan penampilan kaba yang disebut
bakaba oleh tukang cerita kelana yang menampilkan kaba dari rumah ke rumah dan dari satu kampung ke kampung lain. Penampilan kaba biasanya dilakukan dalam upacaraupacara tradisional seperti upacara sunatan, perkawinan, mendirikan  rumah gadang, dan sebagainya. Tukang kaba sangat luwes mengatur waktu penampilannya, apabila pengundang menghendaki penampilan yang panjang ia bisa memperpanjang cerita untuk beberapa malam penampilannya, sebaliknya jika pengundang hanya menyediakan waktu satu malam saja, tukang kaba juga bisa memperpendek penampilan tanpa mengurangi inti cerita (Umar Kayam , 1984: 57). Oleh karena tukang kaba
sering diundang masyarakat untuk mengadakan pertunjukan dalam upacara-upacara tradisional rakyat, maka ia menjadi orang yang berperan, terpandang, dan popular dalam lingkungan masyarakatnya. Kondisi ini mendorong keinginan individu-individu lain untuk menjadi
tukang kaba, sehingga bermunculan tukang-tukang kaba yang masingmasingnya berusaha dan berlomba untuk mendapatkan popularitas. Usaha mereka tersebut melahirkan versi-versi baru dalam penampilan kaba, jika pada mulanya kaba hanya disajikan dalam bentuk monolog dan nyanyian, selanjutnya muncul penampilan kaba yang disertai bunyian-bunyian musik tradisional
seperti rebab , kecapi, dan juga 37 jentikan korek api sebagaimana penampilan kaba Anggun Nan
Tongga Magek Jabang yang disebut basijobang di daerah Payakumbuh. Selain terjadi perkembangan
penampilan kaba, silat suatu seni bela diri tradisional Minangkabau juga mengalami perkembangan
dalam bentuk penampilannya. Pada awalnya silat hanya khusus untuk ilmu bela diri yang mengadung unsur gerakan-gerakan serangan, tangkisan, tangkap, dan gerakan melepaskan tangkap atau yang disebut dalam istilah persilatan Minangkabau gayuang, sambuik, tangkok, lapek. Oleh karena penampilan permainan silat tidak mungkin atau tidak bisa dipertunjukan untuk khalayak ramai, maka untuk mengisi kebutuhan pertunjukan dilakukan pengembangan gerakan-gerakan
silat dengan memberi variasi-variasi gerak yang tidak terlalu kentara ilmu bela dirinya. Perkembangan itu memunculkan bentuk kesenian baru yang disebut pencak silat, tari
sewah, galombang , dan sebagainya. Sehubungan dengan keterangan di atas Ratius mengatakan bahwa, pada tahun 1930-an pemerintah Belanda menjalankan Politik kekekerasan dalam pemerintahannya di Sumatera Barat . setiap gerak-gerik masyarakat selalu diawasi dengan ketat. Rentetannya mereka melarang kelompok persilatan kami mengadakan latihan, karena dikhawatirkan akan menyusahkan pemerintahannya. Untuk penganti latihan silat, kami melakukan latihan
bunga-bunga silat, atau pencak silat yang tidak kentara seni bela dirinya. Latihan pencak silat itu dilakukan secara bersama dalam posisi lingkaran, tidak seperti bermain silat yang dilakukan secara dua orang secara berlawanan. Berhubung permainan tersebut hanya menampilkan bunga-bunga gerakan silat, maka nyaris tidak menuntut kosentrasi yang tinggi terhadap pemainnya, pemain bisa melakukan gerakan-gerakan dalam keadaan santai sambil bernyanyi da bertepuk tangan. Jenis permainan itu yang akhirnya berkembang menjadi tari randai. 38 Bersamaan dengan perkembangan seni sastra dan silat Minangkabau sebagaimana dijelaskan sebelumnya tahun 1920-
an rombongan Bangsawan Melayu mempertunjukan teater populernya di tempat orang-orang berbahasa Melayu tinggal, seperti di jazirah Malaya, Singapura, Sumatera, Kalimantan. Sunda, dan Jawa (James R. Brandon, 1984: 124).Pada masa itu juga terjadi proses pengentalan di Nusantara Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan kebangsaan yang rupanya menjadi dasar yang lebih kongkrit baikdalam bidang politik maupun dalambidang sosial budaya. Salah satu gejalanya yang menonjol adalah dengan lahirnya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang
mengikrarkan tiga aspek persatuankehidupan kebangsaan yaitu, persatuan berbangsa, bertanah air,
dan berbahasa Indonesia. Bahasa Melayu mempunyai andil yang kuat sebagai bahasa kesatuan Indonesia yang harus dipakai dan dipopulerkan oleh segenap masyarakat Nusantara. Sejalan dengan kepopulerannya bahasa Melayu tersebut, maka teater Bangsawan Melayu yang
mempunyai potensi untuk mempopulerkan bahasa Melayu dan rasa Kemelayuan menjadi sangat
popular dan mendapat sambutan oleh masyarakat Nusantara (Yulianti L. Parani, 1985: 372).
Tidak berbeda dengan daerah-daerah lain di Nusantara, di Sumatera Barat teater Bangsawan
Melayu mendapat sambutan baik oleh masyarakat kota Padang, sehingga pada tahun 1920-an di kota tersebut telah terdapat dua buah gedung pertunjukan komedi bangsawan Melayu, yaitu gedung komedi di jalan Thamrin dekan Grand Hotel sekarang, dan gedung di daerah Pondok (Rusli Amran, 1986:21). Dari kota Padang teater popular Bangsawan Melayu berkembang ke sekolah-sekolah dan kota-kota lain di Sumatera Barat seperti ke sekolah Kweekschool yang lebih dikenal dengan sebutan sekolah Raja di Bukittinggi, sekolah INS (Indonesia Nederland School) di Kayutanam, dan di kota Bukittinggi, Padangpanjang, Payakumbuh, dan lain-lain. Dalam
39 perkembangannya di sekolahsekolah dan kota-kota tersebut
muncullah teater Melayu yang  menampilkan cerita rakyat atau klasik Minangkabau. Sejalan dengan perkembang tersebut istilah teater juga diganti dengan sebutan Toneel yang diambil dari bahasa
Belanda.Toneel yang menampilkan cerita klasik Minangkabau akhirnya dengan sebutan Tonnel klasik
Minangkabau. Dari lingkungan masyarakat perkotaan dan sekolah-sekolah toneel klasik Minangkabau berkembang ke lingkungan rakyat biasa di desa-desa, sehingga sebelum tahun 1930-an di Koto Nan Gadang dan Labuah Basilang Payakumbuh telah ada perkumpulan toneel klasik Minangkabau di bawah pimpinan Datuk Panduiko Alam dan Jalut. Tahun 1932 diadakan pasar
malam di Payakumbuh yang diistilahkan Fanncy Fair. Pada acara tersebut ditampilkan keseniankesenian rakyat Minangkabau seperti tari, kaba, dan lain sebagainya, serta Toneel klasik Minangkabau karya Datuk Panduko Alam dari Koto Nan Gadang, yang menyajikan cerita Talipuak Layua nan dandan. Diilhami oleh toneel klasik Minangkabau tersebut Jallut dan kawan-kawan yaitu Datuk Ratih dan Datuk Panduko Bassa menyusun kesenian rakyat Minangkabau, kaba, pencak silat,
tari Sewah, tari gelombang,dan tari randai menjadi kesenian randai yang
berbentuk teater. Ratius salah seorang pemain pertama dalam randai Simarantang menyatakan bahwa randai yang berbentuk teater pertama tumbuh di daerah Labuah Basilang Payakumbuh menampilkan cerita Cindua Mato. Akan tetapi sebelum berkembang kelompok randai itu
telah bubar karena para pemainnya banyak yang pindah ke nagari lain atau pergi merantau. Pada tanggal 6 Juni 1935 berdiri kelompok Randai baru di Koto Nan Gadang Payakumbuh menampilkan cerita Simarantang. Randai Simarantang tyang akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan randai di nagari-nagari dalam daerah Sumatera Barat. 40 Berorientasi pada uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa randai yang berbentuk teater rakyat lahir dari proses perkembangan kesenian tradisional rakyat Minangkabau setelah mendapat ilham atau pengaruh dari teater komedi bangsawan Melayu melalui perantara Tonnel klasik Minangkabau. Pengaruh komedi
bangsawan itu terlihat dengan munculnya seni peran atau penokohan dan pembabakan atau
pengadenganan dalam penyajian kaba. Kedua unsur seni itu sebelumnya tidak dikenal dalam khasanah kesenian rakyat Minangkabau.

C. Konsep Pengembangan dan Pembinaan Randai.
Pembicaraan tentang konsep pengembangan randai pada bagian ini hanya difokuskan pada konsep pengembangan kualitas. Para pakar randai telah menyepakati bahwa randai yang berbentuk taeter rakyat Minangkabau mempunyai unsur pokok yaitu ; cerita, dialog dan akting, gurindam, galombangan. Keempat unsur pokok tersebut boleh dikembangankan, tetapi tidak boleh ditiadakan. Salah satu saja diantara unsur pokok tersebut ditiadakan, maka akan lahir kesenian yang tak
dapat dikatakan kesenian randai lagi. Sehubungan dengan pendapat ini, maka konsep atau gagasan untuk pengembangan randai, bisa dilakukan dari pengembangan unsur pokok randai dan juga
pengembangan unsur pendukung lainnya. Pengembangan cerita randai dapat dilakukan dengan cara
menyusun atau mengarap cerita baru. Agar tetap mengakar pada budaya Minangkabau, maka hendaklah cerita baru tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Minangkabau. Baik
nilai-nilai kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa silam maupun nilai-nilai masyarakat masa
kini. Secara historis cerita randai tidak selalu bersumber kepada kaba, tetapi ada cerita randai yangmengungkapkan kejadian atau fenomena sosial seperti cerita randai Simarantang, Angkupalo Sitalang, Intan Sari Dewi dan lain sebagainya. Pada dasarnya cerita randai bisa 41 digarap atau disusun berdasarkan fenomena kehidupan masyarakat masa kini, sehingga masalah yang diungkapkan dalam cerita tersebut terasa baru dan segar (up to date ). Ada tiga bentuk gaya sastra yang dipergunakan dalam naskah atau cerita randai. Pertama, berbentuk pantun berkait yang
diistilahkan oleh sebagian masyarakat “pantun tikam jajak”.
Sastra yang bergaya pantun berkait mempunyai ciri; meskipun baris pertama dan baris kedua terlihat
sebagai sampiran, namun ungkapan tersebut mengandung makna yang relevan atau berhubungan dengan isi cerita. Selain itu baris pertama pada pantun berikut merupakan
kelanjutan ungkapan atau ada hubungannya dengan ungkapan sastra pada baris keempat dalam pantun sebelumnya. Contoh: Oi nan kanduang gadih nan
jombang
Kanduang kamarilah malah dahulu
Dek denai ada nan takalang
Ka Upiak kato lai tatuju
Kato surang dibuleki
Kato basamo dipaijokan
Kilek jopatuih lah barapi-rapi
Tandonyo harilai kaujan
Kok bumi angan manarimo aia
Hujan ka langik kajatuahnyo
Dek kanduang tolonglah dipikia
Hati awak nak sanang pulo
Kedua, berbentuk pantun lepas, yaitu baris pertama dan baris kedua merupakan sampiran lepas, makna kata atau kalimatnya tidak berhubungan dengan isi cerita. Contoh:
Anak urang kampuang Pariangan
Pai ka balai pakan Simabua
Nan kapulang harilah sanjo
Jikok adiak sabana saying
Tompangkan denai dalam sanggua
Nak samo runduak jo kapalo
Padi sijirak jiro jintan
Padi sipulik elok katapuang
Jikok itu tuan katokan
Jo bulu mato tuan den baduang
Ketiga, tidak berbentuk pantun, tetapi berbentuk rangkaian kata yang mengandung makna tertentu. Gaya ini tidak terikat dengan ketentuan pantun yang bersajakan A-B A-B atau A-A bagaikan syair. Contoh:
Diak kanduang gadih nan jombang,
lah padek denai dek mancari, hilia
kampuang mudiak kampuang, adiak
nan indak ado basuo. Bagageh
denai datang ka mari, ruponyo
adiak ado di siko. Nak aia pincuran
tabik, nak ulam pucuak manjulai.
Tuan kanduang nyanyo denai,
apokoh niak jo singajo, mangko
tuan mancari denai. Nan salariuk
salamo nangko, jankan badan ka
basuo, taangan sajo lai indak.
42
Penggarapan gurindam
 randai. Untuk menjaga keaslian kesenian randai sebagai teater rakyat Minangkabau, maka telah ada
ketetapan berdasarkan kesepakatan bersama pada Sarasehan randai tahun 1972 bahwa ada tiga irama dendang yang harus dilakukan oleh setiap kelompok randai yaitu; dendang Dayang Daini untuk gurindam persembahan, dendang Simarantang untuk gurindam
 legaran pertama, dan dendang Simarantang Tinggi atau dendangPalayaran untuk bagian penutup. Selain dari tiga irama dendang tersebut di atas gurindam bisa mempergunakan berbagai irama
dendang yang ada di lingkungan masyarakat tradisional Minangkabau, apakah dendang
tersebut diambilkan dari dendang saluang/rebab, dendang salawat dulang, dendang kesenian indang, dendang kesenian dikie, dan lain sebagainya. Dendang tersebut juga bisa dikembangkan dari aspek tempo dan melodi jika diperlukan oleh cerita randai tertentu. Akan tetapi dalam pengembangan tersebut perlu dipertahankan nuansaketradisiannya.Pada awalnya pendendang atau pembawa gurindam randai dilakukan oleh laki-laki yang berpakaian dan bergaya seperti perempuan. Apabila ada pendendang atau pembawa gurindam laki-laki mereka akan melakukannya sambil bergerak dalam posisi lingkaran. Dewasa ini telah muncul pendendang atau pembawa gurindam laki-laki yang hanya khusus sebagai pengurindam yang berpakaian laki-laki. Dalam penampilan randai penggurindam tersebut tidak lagi membawakan gurindam sambil bergerak dalam posisi lingkaran, tetapi mereka mengambil posisi di tengah lingkaran. Alternatif perkembangan tersebut terasa rugi dari segi aspek estetika, karena pendendang lakilaki yang berpakaian laki-laki (sama dengan pakaian pemain galombang) yang mengambil posisi di tengah
lingkaran akan menjadi tidak menonjol dalam penampilannya, sebab ia tertutup oleh pemain
galombang yang juga memakai pakaian yang sama. Sebaiknya jika 43 memang pendendang atau pembawa gurindam laki-laki harus dilakukan, maka perlu direncanakan disain atau model pakaian khusus yang memungkinkan penggurindam tersebut menjadi menonjol, karena peranan gurindam dalam penyampaian cerita termasuk penting atau dominan.
Pengarapan gelombang randai. Akhir-akhir ini penggarapan galombang randai menjadi perhatian
yang menonjol oleh grup-grup randai di Sumatera Barat, hanya saja amat disayangkan pengarapan
gelombang tersebut terfokus pada pengarapan tapuak galembong, sementara pengarapan gerak
gelombang menjadi terabaikan. Jika ada dilakukan pengarapan gerak gelombang baru, tetapi sangat
cendrung menampilkan gerakangerakan joged. Penggarapan gerak gelombang yang bersumber pada
gerak pencak silat akhir-akhir ini menjadi terabaikan. Padahal gerakan yang bergaya gerak pencak silat merupakan kekuatan, kespesifikan, dan keunikan dari gerak gelombang kesenian randai sebagai teater rakyat Minangkabau. Dialog dan akting randai pada awalnya mempunyai kespesifikan. Chairul Harun antara lain mengatakan akting permainan randai adalah berbentuk balabeh
 silat. Gerak akting tersebut serasidengan gaya dialog randai yang bersumber pada gaya berpantun atau berpasambahan. Dewasa ini gaya dialog dan akting kurang mendapat perhatian oleh pelatih-pelatih cerita randai. Fenomenanya terlihat dengan munculnya berbagai gaya
dialog dan akting yang tidak bersumber pada gaya berpantun atau babalabeh silat seperti yang
dikatakan Khairul Harun. Malahan antara satu orang pemain dengan pemain lainnya dalam satu
kelompok randai sering dijumpai gaya dialog dan akting yang tidak  sama dan tidak serasi.
Blog, Updated at: 20:23

0 comments:

Post a Comment

Entri Populer

Powered by Blogger.

Blog Archive